Saturday, 27 Jul 2024
  • Selamat Datang di Website SMK Negeri 12 Bandung

Pentingnya Sikap Empati Pada Masa Remaja

Empati merupakan salah satu aspek yang penting untuk dikembangkan karena empati dapat mendorong perilaku yang positif dalam kehidupan sosial. Pentingnya empati juga dijelaskan oleh Hoffman  (Goleman, 2000, hlm. 147) yang menyebutkan bahwa akar moralitas ada dalam empati.  Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kehidupan yang bermoral pada remaja akan terbentuk jika remaja memiliki empati.

Menurut Goleman (1999, hlm. 148) pada usia remaja, seseorang telah mampu memahami kesulitan dibalik situasi yang tampak dan menyadari bahwa situasi atau status seseorang dalam kehidupan dapat menjadi sumber beban stress. Pemahaman remaja tersebut akan mendorong keyakinan moralnya, sehingga memiliki kemauan untuk meringankan kesulitan orang yang tidak beruntung dan diperlakukan secara tidak adil.

Berdasarkan pernyataan tersebut remaja yang memiliki empati cenderung menunjukkan sikap yang sesuai dengan norma-norma dan aturan yang ada di lingkungan sekitarnya, contoh sikap yang ditunjukkan diantaranya memiliki hasrat untuk bersikap bijaksana, sopan, melihat dunia sebagaimana orang lain melihatnya dan bertindak berdasarkan pengetahuan tersebut dengan kelembutan hati. Ketika ia bersikap, berbicara terhadap orang lain senantiasa mempertimbangkan perasaan/emosi orang yang dihadapi dengan cara memperhatikan nada bicara, gerak-gerik, dan ekspresi wajah orang yang sedang dihadapi.

Setiap individu memiliki dasar kemampuan empati, namun terdapat perbedaan pada tingkat kedalaman dan cara mengaktualisasikannya. Menurut Santrock (2007, hlm.317) pada masa remaja, idealnya telah mampu menunjukkan respon dengan empati, namun tidak setiap orang mampu melakukannya. Hogan (1984) mengungkapkan bahwa remaja dengan kemampuan empati yang tinggi memiliki kemampuan berperan imajinatif, menyadari pengaruh terhadap orang lain, mempunyai rasa pengertian sosial, memiliki rasa pengertian dan kasih sayang terhadap sesama, mampu berinisiatif membantu orang lain baik yang dikenal maupun yang tidak mereka kenali dan selanjutnya meningkatkan motivasi untuk memberikan pertolongan.

Sedangkan remaja yang kurang memiliki empati akan mengarah pada perilaku antisosial (Santrock, 2007, hlm.317). Perilaku antisosial merupakan gangguan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial yang ditunjukkan dengan perilaku melanggar norma atau aturan dalam dalam kelompoknya. Kurangnya empati akan memunculkan kehidupan yang kejam dan keras. Beberapa remaja yang melakukan tindakan kekerasan menunjukkan bahwa remaja tersebut kurang mampu memahami penderitaan orang lain, contohnya kasus kekerasan yang saat marak dilakukan oleh remaja, kenakalan remaja, tindakan agresi, bullying baik fisik maupun verbal (mengejek, mengumpat, menghina, dan sebagainya). Terjadinya kasus kekerasan dan kenakalan remaja seperti bullying merupakan bukti kurangnya rasa empati remaja.

Fenomena kekerasan dan kenakalan yang dilakukan oleh remaja semakin meningkat. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat setiap tahunnnya kekerasan antar pelakar terus meningkat. Pada tahun 2017 terjadi 147 kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah, sementara pada tahun 2018 angkanya meningkat yakni sebanyak 255 kasus (Okezone.com,14 Oktober 2022). Adapun contoh kasus kekerasan yang dilakukan oleh empat pelajar SMP di Depok, Jawa Barat yang menganiaya pelajar SMK hingga tewas (viva.co.id, 7 November 2022). Hal tersebut menunjukkan terdapatnya kecenderungan empati yang rendah pada remaja.

Penanaman empati sebagai inti dari pendidikan moral atau budi pekerti akan mampu menyentuh perkembangan perilaku peserta didik secara mendasar (Haryani, 2013, hlm. 3). Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan, memiliki peran penting dalam upaya penanaman dan pengembangan empati peserta didik, terutama dalam ranah bimbingan dan konseling.

Dalam bimbingan dan konseling yang komprehensif peserta didik diharapkan memperoleh keterampilan yang penting dalam memberikan kontribusi terhadap masyarakat yang memiliki aneka budaya (Ahman dalam Supriatna, 2011, hlm.36). Sebagaimana salah satu tujuan bimbingan dan konseling menurut Departemen Pendidikan Nasional (2008; 198) adalah peserta didik diharapkan memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkuangannya dan memiliki kemampuan dalam berinteraksi sosial dan bersikap respek terhadap orang lain dan menghormati atau menghargai orang lain.

Ditulis oleh:

Tenty Nurul Hidayah (Guru BK SMK Negeri 12 Bandung)

Berita Terbaru

0 Komentar

KELUAR